DJP Selalu Gagal Kejar Target
Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan. Foto : Arief/mr
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan dinilai selalu gagal kejar target pajak yang dicanangkan Pemerintah. Meski Dirjen Pajak beberapa kali berganti, capaian pajak tetap tak maksimal. Tahun ini, penerimaan pajak ditargetkan Rp 1.577,56 triliun atau 64,1 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) Rp 2.461,1 triliun.
Diperkirakan shortfall pajak 2019 tidak akan kurang dari Rp 160 triliun, sehingga menyebabkan defisit anggaran yang kemungkinan akan ditutupi dengan utang. Shortfall pajak adalah kondisi realisasi penerimaan pajak lebih rendah daripada target yang ditetapkan dalam APBN. Demikian dikemukakan Anggota Komisi XI DPR RI Heri Gunawan dalam rilisnya yang diterima Parlementaria, Selasa (5/11/2019).
“Target utama DJP sebenarnya hanya satu, yakni merealisasikan target penerimaan pajak yang ditetapkan pemerintah. Hanya saja di lapangan, merealisasikan target tersebut tidak semudah membalikkan tangan. Dan utang pun telah menjadikan negara ini tidak berdaulat secara ekonomi. Setiap kebijakan ekonomi pemerintah tak lepas dari kontrol asing sebagai donatur. Tahun ini, target penerimaan pajak sudah pasti meleset,” tandas Heri.
Menurut politisi Partai Gerindra ini, soal pajak bukan tercapai atau tidak tercapai. Tapi ini persoalan shortfall pajaknya. Selama lima tahun terakhir, realisasi penerimaan pajak selalu meleset dari target. Pada 2014, realisasi pajak tercatat 91,85 persen dari target. Tahun 2015 realisasinya turun menjadi 81,9 persen. Lalu, 2016 sebesar 81,6 persen, dan 2017 sebesar 89,68 persen, serta 2018 sebesar 92,41 persen dari target.
“Terpilihnya Suryo Utomo sebagai Dirjen Pajak yang baru, kami harapkan kompetensi, keahlian, dan integritasnya dapat menjawab tantangan dan harapan untuk memenuhi target penerimaan negara dari sektor pajak yang menjadi konsentrasi kita bersama, dengan tetap menjaga momentum penerimaan negara, namun tidak boleh merusak iklim bisnis dan investasi,” urai Heri.
Legislator asal Sukabumi ini mengimbau, pemerintah melakukan pendekatan profiling untuk antisipasi potensi shortfall APBN yang semakin dalam. Misalnya, dengan fokus menargetkan sektor mana saja yang belum masuk dalam daftar penerimaan pajak. Secara spesifik, Dirjen Pajak harus terus mendorong program ekstensifikasi agar bisa menyerap pajak dari pengusaha yang belum teridentifikasi atau tidak patuh pajak.
“Saat ini kita menghadapi masalah basis pajak yang relatif masih kurang. Basis pajak diperluas dengan melaksanakan sosialisasi peraturan perpajakan dan pembinaan terhadap wajib pajak. Kami mendukung extra effort yang lebih bersifat ekstensifikasi yang belum tercatat dalam sistem, yang belum punya NPWP, yang tidak patuh, silakan melakukan extra effort dengan tidak mengganggu iklim usaha. Yang tidak kalah penting juga, secara internal harus berani membenahi praktik pajak yang belum ideal,” sambung Heri.
Misalnya, ia mencontohkan, administrasi yang belum seragam, pelaksanaan di lapangan yang belum konsisten, dan melanjutkan reformasi Sumber Daya Manusia (SDM) di DJP. Pembenahan tersebut berdampak pada peningkatan kepercayaan wajib pajak. Konkretnya, Dirjen Pajak dituntut mampu menyusun kebijakan yang inovatif, tidak melulu dengan cara meningkatkan tarif pajak atau mengejar wajib pajak yang sama setiap tahun.
“Pajak harus bisa menjadi bagian dari strategi besar pemerintah mendorong laju perekonomian. Karena selama lima tahun terakhir pertumbuhan ekonomi kita masih terjebak di kisaran lima persen. Target penerimaan pajak yang kerap meleset akan berbahaya bagi Indonesia, lantaran akan bergantung terhadap utang yang terus membengkak. Shortfall yang menahun ini bukan salah DJP semata, namun pemerintah juga tidak rasional dalam mematok target penerimaan pajak,” jelas Heri. (mh/sf)